Jumat, 04 Maret 2011

Pengemis




Gerimis, Jumat (29-10), sekitar pukul 13.00. Mangkuk plastik, terpangku di telapak tangan, dengan kain kumal, menutup sebagian wajah.
Sorot mata berubah redup, dan semakin haru tak kala ada suara receh itu beradu dengan mangkuk, lalu keluar ucapan terima kasih dan doa-doa dari sang duafa.
Tapi sorot mata say itu berubah cahaya, manakala orang-orang itu berlalu begitu saja.
Mereka itu mengaku satu kiblat dengan orang yang baru keluar dari Masjid. Itu, tapi ironisnya, mereka tidak melakukan kegiatan seperti orang-orang keluar dari masjid itu.
“Mereka itu selalu muncul, setiap sholat Jumat, dan menjelang hari raya ini, jumlah mereka bertambah banyak,” kata salah seorang yang berlalu, sambil mengeluarkan uang Rp500 rupiah dari sakunya, dan diserah kan pada seorang bocah, yang meminta-minta dengan gelas bekas air mineral, di gerbang Masjid.

Pengemis itu menjamur, ditengah pembangunan. Sementara pemerintah tidak pernah siapkan obat jitu, dengan mempertimbangkan mereka adalah manusia, dan warga Kota Bandar Lampung.. Sebagian orang justru memanfaatkan mereka untuk kepentingan politik, atau sekedar untuk menguras anggaran.APBD. Fakta politik yang tergores.
Lalu, apa arti rajia Pol PP, ditepi jalan, jika anjal itu berkeliaran.

Berbagai proyek, termasuk ada rumah singgah, ada panti reahbilitasi, ada dinas sosila, dan ada seabrek LSM, yang peduli terhadap orang miskin. Toh, data orang miskin, yang menerima konpensasi BBM, terus bertambah. “Mungkin benar, tidak tepat sasarn. Tapi Toh, siapa yang tidak berebut. Ada uang Rp300 ribu dibagi-dengan Cuma-Cuma.”.
Nyaris mirip atau mungkin sama dengan istilah THR, dan para pemburunya, seperti sama dengan para pengemis. Tapi caranya yang sedikit berbeda, Dulu sepakat, THR, diberikan oleh orang mampu, kepada orang tidak mampu. Atau penghargaan dari sebuah perushaan, kepada karyawan, sebagai bentuk kepedulian, dikarenakan dengan lebaran, banyak orang melakukan pengeluaran, lebih banyak dari pada hari biasa. Ada kebutuhan, buat kue, biaya tranfortasi, dan budaya beli baju baru. Termasuk budaya, bagi-bagi uang kepada sanak keluarga, yang lebih muda, atau yang belum ada penghasilan.
Tanpa sadar budaya-budaya yang dilestarikan itu memicu persoalan baru.
THR, itu bahkan diatur dalam sebuah pertaturan, dan kebijakan pemerintah. Bagaimana, jika segala bentuk yang namanya THR, atau sumbsidi, atau bantuan, itu dihapus. Dan diganti dengan peningakatan penghasilan pada pekerja, dan dibuatkan proyek pembangunan yang mampu menyerap tenaga kerja. “Berikan mereka pekerjaan, dan bayarkan dengan disesuaikan dengan pekerjaannya".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar